Menggali Akar Budaya: Sejarah Nai Ambaton dan Siambaton dari Literatur Belanda Tahun 1920
Medan, 1 Juni 2025 — Dalam upaya pelestarian sejarah dan budaya Nusantara, khususnya budaya Batak, Yayasan Perguruan Tinggi Ilmu Al-Ikhlas (PETIA) melalui Ketua Yayasan Rules Gaja, S.Kom dan Sekretaris Yayasan Jonny Kenro, SH, menyampaikan pentingnya mengenang, memahami, dan mendalami sejarah leluhur yang tersebar dalam literatur kuno, termasuk buku-buku peninggalan era kolonial.
Salah satu temuan menarik berasal dari sebuah buku berbahasa Belanda yang terbit pada tahun 1920, yang mengulas tentang keberadaan komunitas adat yang dikenal dengan nama Siambaton dan kelompok Nai Ambaton, yang hidup di wilayah perbatasan antara Toba dan Dairi di Sumatera Utara.
Siambaton: Masyarakat Adat di Persimpangan Budaya
Siambaton dikategorikan sebagai masyarakat adat yang relatif muda usianya. Hal ini didasarkan pada lokasinya yang berada di zona transisi atau pertemuan antara dua kelompok etnolinguistik besar: Toba dan Dairi. Penelitian tersebut menyoroti bahwa masyarakat Dairi sebagian besar merupakan keturunan dari suku Toba, meskipun telah mengalami perkembangan adat dan bahasa yang berbeda seiring waktu.
Masyarakat Siambaton terdiri dari 9 marga penguasa, dan 8 di antaranya masih terhubung dalam satu silsilah besar yang disebut sebagai kelompok Nai Ambaton. Kelompok inilah yang diyakini sebagai asal muasal nama dari wilayah atau lanskap “Ambaton” atau “Nai Ambaton”.
Marga ke-9, yaitu Tinamboenan, belum dapat dipastikan keterkaitannya secara genealogis dengan kelompok ini. Beberapa marga lain seperti Gadja, Berasa, dan Toemanggor tidak dijumpai di wilayah Toba, dan kemungkinan merupakan cabang dari kelompok Dairi.
Struktur Sosial dan Spiritualitas Komunal
Siambaton terbagi dalam lima pargoegoean, yaitu unit masyarakat hukum tradisional yang ditandai dengan kepemilikan sombaon (dewa leluhur tertinggi) secara kolektif. Masyarakat dari tiap pargoegoean menyelenggarakan ritual dan pengorbanan bersama sebagai bentuk penghormatan kepada sombaon.
📍 Salah satu dari lima pargoegoean dikenal dengan nama **Siambaton Pahae atau Sigolang**, sementara empat lainnya tergabung dalam **Siambaton Djoeloe**.
📍 Kedua kelompok ini terpisah oleh barisan pegunungan yang lebat dan selama bertahun-tahun menjalankan **sistem administrasi dan pemerintahan adat masing-masing**.
Sistem Pemerintahan Adat dan Dewan Boes
Pada masa berdirinya Boven Baroes, setiap pargoegoean memiliki seorang raja adat. Keempat raja ini bersama tokoh-tokoh penting lainnya membentuk suatu badan pemerintahan adat bernama Dewan Boes. Tokoh tertinggi dalam dewan ini disebut Bona Ni Saksi, yang bertugas memimpin upacara spiritual (festival pengorbanan Boes) dan menjadi representasi utama masyarakat terhadap dunia luar.
Seiring dengan masuknya sistem pemerintahan kolonial, struktur tradisional ini mengalami pergeseran. Fungsi administratif dari Dewan Boes dihapuskan, dan mereka hanya mempertahankan fungsi keagamaan dan spiritual.
Karena jumlah penduduknya kecil, wilayah Siambaton Djoeloe kemudian dipimpin oleh seorang radja pandoea, yang berada di bawah otoritas Bona Ni Saksi Toeka Delok, yang diangkat sebagai pemimpin tertinggi dengan sebutan djaihoetan.
-Pernyataan Yayasan PETIA
Ketua Yayasan PETIA, Rules Gaja, S.Kom, menegaskan pentingnya pelestarian nilai sejarah dan budaya lokal.
> *"Melestarikan sejarah leluhur adalah bagian dari membangun identitas generasi masa kini. Pengetahuan tentang struktur adat seperti Siambaton dan Nai Ambaton adalah warisan tak ternilai bagi masyarakat Batak dan bangsa Indonesia."*
Sementara itu, Sekretaris Yayasan, **Jonny Kenro, SH**, menambahkan:
> *"Kami mendorong akademisi, sejarawan, dan masyarakat umum untuk menggali dan mendokumentasikan sejarah lokal yang terpendam dalam naskah-naskah kuno, termasuk literatur kolonial, sebagai bagian dari upaya pelestarian jati diri bangsa."*
( TIM)
---